Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Jatuh Cinta Dengan Pulau Sabang

AKU TELAH JATUH CINTA 

Cinta itu datang karena terbiasa. Ia tumbuh tanpa disengaja. Terbit tanpa dipaksa, iramanya begitu pelan, tenang tetapi pasti. Begitulah rasa cintaku pada kota ini.

Kota yang jauh dari hingar bingar dan ketergesa-gesaan. Kota yang sejuk dan selalu tampak rupawan dalam pandangan. Kota yang damai dengan view setiap spot-nya laksana surga. Kota sederhana yang jauh dari kemewahan. Di sini tidak ada mall megah, tidak ada bioskop mewah, tidak ada showroom kendaraan yang wah, semuanya sederhana tetapi bersahaja. 

Kota ini memang santai. Kami tak perlu buru-buru berangkat jauh sebelum jam sekolah atau jam kerja, sebab jalanan kota kami senantiasa lengang tanpa kemacetan. Kami tidak membutuhkan lampu lalu lintas untuk mengatur laju kendaraan, bahkan begitu santainya polantas di kota kami, hingga kami jarang sekali melihat mereka sekadar berdiri di pinggiran jalan. Kota mana lagi yang hanya memerlukan waktu 10-15 menit saja perjalanan ke sekolah atau tempat kerja walau jaraknya terkadang sampai 20an kilometer dan sepanjang jalan disuguhi pemandangan indah. 

Penduduk kota kecil kami sangat heterogen, baik ras maupun etnis. Dengan wilayah yang hanya memiliki luas 122,1km persegi ini, kami memiliki banyak masjid, tiga gereja dan juga vihara tempat peribadatan ummat Budha. Yang sangat menyejukkan pandangan adalah salah satu gereja Protestan terbesar di sini, berhadapan langsung dengan masjid Agung yang menjadi ikon keislaman kota Sabang. Kami hidup ramah dan damai dalam keberagaman.

Umumnya penduduk kota ini adalah pendatang. Ketika kami merindukan kampung halaman, memandangi laut-laut biru itu adalah penawarnya. Perasaan kami mungkin sama walau pinggiran pantai yang kami pandangi berbeda. Mendengar sirine kapal berangkat adalah sesuatu yang haru, terpikir kapan lagi  bisa menyeberang. Namun tak lama di sana, rindu akan kota ini kembali lagi. 

Sungguh, aku telah jatuh cinta. Jatuh cinta pada pantainya, lautnya, gunungnya, danaunya, hutannya, jalanannya, aroma udaranya, masyarakatnya, sinar mentarinya, hawa hujannya, ramah tamahnya, dengan segala kebersahajaannya. 

Terima kasih kepada tanah ini yang telah memberi kehidupan kepada saya hingga saat ini.

Alhamdulillah...

Penulis : Ismi Marnizar