Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Pluralisme Aswaja Di Aceh


Pluralisme agaknya dibutuhkan dalam merawat tradisi keberagaman praktik keagamaan di Aceh. Di saat para orientalis mengkampanyekannya ke dunia Islam, banyak pihak telah menentangnya dengan beragam perspektif. Walaupun dibalik itu masih ada dari kalangan umat Islam yang menerimanya. Upaya untuk mengkampanyekannya Pluralisme ini semesetinya di"contohi" oleh cendikiawan, tengku, da'i dan pemangku kepentingan di Aceh. Sebab Aswaja telah ditafsirkan sepihak Oleg otoritas keagamaan yang secara kultural dipercayakan Oleh masyarakat awam di Aceh kepada pihak dayah (tertentu).

Menguatnya Semangat beragama dengan cita rasa Aswaja di Aceh yang bernuansa lokal ini. Memunculkan stigma 'kebencian, ke sejumlah pihak yang memiliki cita rasa yg berbeda dari kalangan intelektual keagamaan lainnya di Aceh., katakanlah ormas Muhammadiyah, alumni UIN, Dewan Dakwah Indonesi, dipersepsikan sebagai bukan aswaja (wahabi) oleh sebagian orang Aceh lainnya mengaku diri Aswaja.

Keberagamaan semangat keagamaan ini semestinya dijadikan "Sumber" utama Dan energi dalam mempertemukan persamaan untuk menjembatani "claim" diri siapa yg paling Aswaja. Dengan demikian perlu kiranya para tgk dan ust membangun dialog antar Aswaja. Saling memahami dengan tdak mengganggu satu dengan lainnya. Kita sebutlah hal ini dalam pembahasan "Pluralism Aswaja di  Aceh".

Dimana keberagmaan "in side" antar Aswaja penting untuk disampaikan dan di Ajarkan kepada masyarakat. Karena hal ini akan menyumbang kebaikan bersama untuk membangun peradaban Aceh di masa depan. Setiap generasi Aceh harus tumbuh dalam budaya toleransi dàlàm keragamaan Praktik peribadatan Islam. Tanpa menghamburkan kebencian kepada pihak lain yang memilih 'teknik' ibadah rada beda, asalkan melalui dasar dari teks al-Qur'an Dan Hadits.

Penulis : Burhanuddin Al khairi